Jakarta, 84 tahun silam.
Sekelompok pemuda terpelajar dengan latar organisasi kepemudaan beberapa daerah
dan agama mengakhiri pertemuan mereka dengan menyatakan sebuah imaji tentang
tanah air, bangsa, dan bahasa: Indonesia.
Ini penanda historis suatu masyarakat yang membayangkan diri
sebagai satu komunitas politik tanpa menghitung-hitung keuntungan kelompok dan
pribadi ke dalam satu semangat kedaulatan politik yang kita kenal sekarang
sebagai Sumpah Pemuda.
Tak tersangkal, dalam rentang 84 tahun sejak Sumpah Pemuda
diikrarkan, tentu banyak hal baru dalam hidup masyarakat Indone- sia sekarang.
Dalam satu dekade berselang, kita telah melampaui periode otoritarianisme dan
menikmati hidup politik demokratis dengan segala catatan.
Dengan memperhatikan segala perkembangan baru yang terjadi dalam
lingkungan hidup kita, pertanyaan penting adalah bagai- mana kita memberikan
makna historis terhadap peristiwa yang terjadi 84 tahun lalu yang sekaligus
jadi pijakan normatif bagi hidup kita sekarang.
Segala yang terjadi dalam hidup kita saat ini memberikan
petunjuk bahwa tekad tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu memerlukan
makna baru atas situasi yang kita hadapi. Sejarah layak menjadi penerang masa
depan, tetapi tidak untuk membebani kita dengan masa lalu.
Merayakannya dengan sekadar mengangkat simbol masa lalu dan
menempatkannya sebagai kritisisme atas kehidupan masa kini hanya akan menempatkan
kita pada bayangan romantisisme sejarah berhadapan dengan realitas kekinian
yang memiliki tantangan lebih besar dan kompleks.
Perlu kita melihat masa lalu dan melihat apa yang kurang dan tak
sesuai dengan cara serta metode hidup kita sekarang. Menu- rut pemikir Thomas
Paine, satu generasi baru selayaknya mampu membebaskan diri dari ikatan mitos
dan traktat-traktat kuno yang sudah tak relevan dengan kondisi dan suasana
hidup gene- rasi itu. Setiap generasi baru harus mampu menciptakan cara dan metode
baru dalam hidup mereka yang sesuai dengan kondisi zaman dibandingkan dengan
sekadar mengutip dan mengikat diri pada apa yang pernah terjadi. Kita anak
zaman kita.
Dengan meletakkan Sumpah Pemuda dalam pandangan seper- ti itu,
banyak soal sudah pasti muncul berkait dengan serangkaian ironi zaman kita:
hidup yang seperti berjalan terbalik dengan tekad yang dicetuskan tentang tanah
air, bangsa, dan bahasa yang satu itu. Hal-hal sederhana yang terjadi dalam
kehidupan kontemporer kita di Indonesia sekarang membuktikan hal ini.
Demokrasi yang kita alami sebagai bagian penting dari politik
Indonesia pascareformasi hendaknya memberikan pelajaran bagaimana pandangan
yang menekankan serangkaian perbedaan, baik asal-usul, agama, etnisitas,
budaya, dan pengalaman sejarah sering kali jadi komoditas politik yang
memungkinkan satu kelompok atau perseorangan dapat untung dari perbedaan itu.
Sebuah kisah yang belum lama terjadi dalam pemilihan gubernur
Jakarta memberikan pelajaran bagaimana seseorang bisa dihakimi tak layak tampil
sebagai pemimpin karena latar ras dan agamanya dianggap berbeda dengan
mayoritas penduduk yang menghuni provinsi itu. Namun, kita patut bersyukur,
kesadaran politik yang berkembang di lingkungan populasi Jakarta, mulai dari
penghuni permukiman kumuh di bantaran kali sampai dengan para pekerja
profesional di gedung perkantoran modern, menegaskan metode dan sikap para
politisi dalam arah itu sebagai gaung tanpa suara yang tidak cukup layak
diperhatikan.
Perkembangan lain dalam globalisasi dunia saat ini adalah
terjadinya persinggungan langsung dunia antarbangsa yang seakan melipat jarak.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah hu- bungan dan kerja sama
yang sering timpang secara ekonomi, politik, budaya, dan sosial, termasuk
secara militer. Padahal, seharusnya tak demikian. Mekanisme dan sistem yang
saling berhubungan dan saling bekerja sama harusnya saling menguntungkan.
Hilangnya beberapa pulau di wilayah perbatasan terpencil di
Indonesia menunjukkan konsekuensi hubungan dan kerja sama yang timpang itu.
Kian terpinggirkannya petani kita karena lahan dikuasai korporasi besar
memunculkan penderitaan petani.
Kebijakan impor yang dipuja- puja mematikan hidup petani kita.
Tambang nasional dan aset ke- kayaan nasional semakin jauh dari pengelolaan
oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Ini semua tantang- an
yang tak dapat kita hindarkan memperingati Sumpah Pemuda.
Sebagai bagian dari generasi yang hidup saat ini, tak ada kata
yang layak disandingkan dengan tekad masa lalu: keadilan yang menjadi impian
seluruh rakyat Indonesia. Kemakmuran dan kemajuan ekonomi Indonesia boleh jadi
membanggakan kita. Namun, bila itu hanya dinikmati se- gelintir saja dari
ratusan juta rakyat Indonesia dan hanya terpusat di salah satu tempat, tentu
akan menciptakan masalah. Ketimpangan itu terang-benderang jadi akar sekian
masalah yang mendera Indonesia saat ini.
Sekarang kita boleh kecut bila di suatu waktu dalam perjalanan
di negeri asing, seseorang berta- nya: mengapa di negeri Anda an- tara satu
tetangga berkelahi karena beda keyakinan dan latar suku? Mengapa jarak antara
mereka yang menikmati kekayaan dan yang terjerembap dalam kemiskinan begitu
timpang di negeri Anda?
Saatnya kita berharap mendengar pernyataan bahwa meski tak kaya
raya dan menghasilkan produksi melimpah ruah, Indonesia adalah negeri yang adil
dengan kualitas peradaban dan mentalitas kewargaan yang tinggi di dunia.
Saatnya kita memasuk- kan wacana keadilan dalam memberi makna penting terhadap
Sumpah Pemuda dan menegaskan sumpah baru bagi hidup kita sekarang di Indonesia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar